Bagai buah simalakama: dibuang mencemari lingkungan, digunakan lagi memicu kanker lantaran mengandung polimer, aldehida, asam lemak, dan lakton. Begitulah suratan jelantah-minyak bekas menggoreng. Namun, tidak demikian bagi Tonianga Djie. Ia justru mengumpulkan jelantah sebanyak-banyaknya. Pria 55 tahun itu mengolahnya menjadi 6.000-9.000 kg biodiesel per hari. Dengan harga jual Rp9.200 per liter, Tonianga menangguk omzet Rp55.200.000-Rp82.800.000 sehari.
Tonianga Djie, produsen biodiesel jelantah di Jonggol, Kabupaten Bogor, membeli jelantah dari para pengepul Rp4.250 per liter. Ia lalu menyaring, menghilangkan warna dan bau dengan zat tertentu, serta melakukan esterifikasi sehingga jelantah menjadi biodiesel. Menurut Tony rendemen minyak jelantah 70%. Artinya, seliter jelantah menghasilkan 0,7 liter biodiesel.
Biaya produksi seliter biodiesel berbahan jelantah Rp8.700. Jika produksinya 180.000 liter, dengan harga jual Rp9.200 per liter maka laba bersihnya Rp135-juta sebulan. Biaya produksi biodiesel jelantah itu agak besar lantaran terjadi 'subsidi silang'. Tony juga memproduksi biodiesel berbahan crude palm oil (CPO) dan CPO parit. Yang disebut terakhir merupakan minyak sisa yang mesti dibuang oleh pabrik CPO. Pembuangan itu lantaran tangki penyimpanan hendak dibersihkan.
Setiap hari Tony memproduksi 30.000-50.000 liter biodiesel. Perinciannya 6.000-9.000 liter berbahan baku jelantah; 24.000-41.000 liter berbahan baku CPO dan CPO parit. Harga masing-masing kedua bahan baku Rp10.000 dan 8.500 per liter. Bila tanpa 'subsidi silang' dalam biaya produksi, laba bersih memproduksi biodiesel jelantah bakal lebih besar. Konsumen biodiesel produksi Tony antara lain perusahaan peleburan aluminium dan timah, serta produsen tekstil yang tersebar di Kalimantan, Medan, Lampung, Cirebon, Semarang, dan Surabaya.
Menurut Dr Oberlin Sijabat, periset Lembaga Minyak dan Gas, membuat biodiesel jelantah relatif mudah. Jelantah bersih hasil penyaringan, dipanaskan 63oC dan aduk hingga 1.000 rpm. Pada suhu itu tambahkan larutan metanol secara bertahap. Begitu larutan dingin terjadi 2 lapisan, atas berupa ester; bawah, metanol. Dengan pencucian, lapisan atas menghasilkan metilester pengganti solar.
Mati lampu
Johan Susilo malah lebih dulu memproduksi biodiesel jelantah. Semula ia hanya menyewakan generator lantaran frekuensi pemadaman listrik di Balikpapan, Kalimantan Timur, relatif sering. Johan mengelola 19 genset masing-masing berkapasitas 500-1.000 kvA. Meski Kalimantan Timur lumbung minyak, mencari solar bukan hal mudah. Oleh karena itu pada 2006 Johan bereksperimen membuat biodiesel berbahan minyak goreng.
Enam bulan lamanya alumnus Universitas Kristen Petra Surabaya itu mencari formula biodiesel. Setelah menemukan paduan pas, pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 9 Maret 1974 itu memproduksi biodiesel jelantah. Bahan baku ia peroleh dari pengusaha katering dan restoran cepat saji di Kalimantan Timur dan Jawa Timur. Saban bulan Johan memproduksi 30 ton biodiesel jelantah untuk memasok sebuah BUMN.
Harganya? Ia memperoleh harga 10% lebih murah ketimbang harga solar industri yang saat ini-medio Agustus 2008-mencapai Rp13.300 per liter. Di luar pembelian bahan baku, biaya produksi biodiesel mencapai Rp1.500 per liter. Johan merahasiakan harga beli jelantah. Jika Johan sama dengan Tonianga dalam menetapkan harga beli jelantah, artinya laba bersih pria 34 tahun itu menjulang: Rp216-juta per bulan.
Bila bahan baku memadai, ia tentu memproduksi biodiesel jelantah lebih banyak lagi. Harap mafhum, PLN Samarinda saja meminta pasokan rutin 24.000 ton per bulan. 'Memenuhi satu klien saja saya kelengar ('pingsan,' red),' kata Johan yang juga memproduksi bioetanol berbahan baku sorgum. Ia mengebunkan kerabat jagung itu di Balikpapan dan Minahasa Selatan.
Memproduksi biodiesel jelantah seperti dilakukan Johan dan Tonianga terbukti menguntungkan. Pasar juga terbentang luas. Itulah sebabnya Rudi Nugraha tergiur menekuni bisnis bahan bakar sampah itu. Lima tahun terakhir, Rudi mengelola 5 toko kue dan roti Majestic Bakery di Cipinang, Pondokbambu, Tebet, Kalimalang, Mampang-semua di Jakarta. Setiap 3 pekan, alumnus Teknik Mesin West Los Angeles College, Amerika Serikat, itu menghasilkan 150 liter jelantah.
Selama ini minyak bekas itu dibeli oleh 3 pengepul Rp4.000 per liter. Rudi tak tahu peruntukan minyak jelantah di tangan para pengepul. Namun, begitu mengetahui jelantah dapat diolah menjadi biodiesel, 'Saya antusias sekali. Bulan depan (September 2008, red) bisa mulai produksi biodiesel,' kata Rudi yang juga berbisnis bumbu instan. Perangkat untuk menyaring hingga esterifi kasi tengah disiapkan.
Mesin ok
PT Pasadena Engineering dan PT Serena Energi pemain lain biodiesel jelantah. Pasadena yang memproduksi mulai Agustus 2008 menargetkan 30 ton biodiesel per bulan. Menurut Dr Tirto Prakoso, ahli biodiesel dari Institut Teknologi Bandung, pemanfaatan jelantah sebagai bahan bakar sangat positif. 'Sudah menjadi rahasia umum, jelantah dikonsumsi kembali oleh pedagang kakilima. Padahal minyak goreng idealnya digunakan 3 kali,' ujar Tirto.
Alihfungsi jelantah menjadi biodiesel itu secara ekonomis menguntungkan dan diharapkan mengurangi pemicu kanker. Selain itu, 'Mutu biodiesel jelantah tetap bagus asal diolah dengan prosedur yang benar. Bagi mesin kendaraan, biodiesel jelantah tak masalah,' ujar dosen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung itu. Itulah sebabnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengundang 60 kepala sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar di sekitar Puspitek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) Serpong, Tangerang.
BPPT menjelaskan pemanfaatan jelantah sebagai bahan baku biodiesel. Sebagai tindak lanjut, pada Agustus 2008 para pelajar mengumpulkan jelantah yang akhirnya disetor ke BPPT. Menurut Dr Soni Sulistia Wirawan, periset biodiesel BPPT, rata-rata sebuah sekolah memasok 25-30 liter jelantah per bulan. Puspitek mempunyai peranti pengolah jelantah menjadi biodiesel berkapasitas 3 ton per hari.
Soni Sulistia Wirawan sepakat dengan Tirto Prakoso bahwa kinerja mesin berbahan bakar biodiesel jelantah lebih bagus. Syaratnya: proses produksi biodiesel jelantah benar. Jepang dan Amerika Serikat juga memanfaatkan jelantah sebagai sumber bahan baku biodiesel. Pemerintah Prefekture Kyoto, Jepang, misalnya, mendirikan Clean Center. Lembaga itu sejak 2003 menampung jelantah dari rumahtangga dan restoran cepat saji. Produksinya mencapai 5 ton biodiesel sehari digunakan sebagai bahan bakar truk.
Itu persis yang dilakukan Pemerintah Kotamadya Bogor yang bekerja sama dengan Hotel Salak memproduksi biodiesel. Hasilnya dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar 10 bus kota Trans-Pakuan hingga 10% atau B10 alias biodiesel 10%. Artinya dari 100 liter bahan bakar, 10% di antaranya merupakan biodiesel jelantah; selebihnya solar.
Produksi biodiesel jelantah Hotel Salak baru 80 kg per pekan. Di Indonesia jelantah potensial sebagai bahan baku bahan bakar seiring pertumbuhan restoran cepat saji. Dr Oberlin Sijabat, periset biodiesel Lembaga Minyak dan Gas memperkirakan produksi jelantah resto cepat saji di Jakarta saja 16.000-18.000 liter per bulan.
Sampah
Selain jelantah, limbah lain yang berpeluang menjadi bahan bakar adalah sampah. Ya, sampah dalam arti yang sesungguhnya memang dapat diolah menjadi bioenergi. Lihatlah yang dilakukan Kopral Kepala Ujang Solikhin di Desa Kepel, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Prajurit TNI itu sejak 3 tahun terakhir memanfaatkan sampah organik seperti dedaunan kering, serbuk gergaji, atau arang.
Ujang mengolah sampah-sampah itu menjadi briket setelah pulang bekerja. Sampah bekas sayuran atau daun basah juga dapat dipakai sebagai bahan baku briket. 'Itu (sampah-sampah basah, red) sangat bisa diolah menjadi briket,' kata pria kelahiran Ciamis 15 Juni 1968 itu. Ujang mengepres sampah basah untuk mengurangi kadar air. Setelah itu memanaskannya. Menggunakan minyak atau solar?
Tidak, ayah 4 anak itu juga memanfaatkan ban bekas atau sandal jepit sebagai bahan bakar. Pengusaha briket sampah itu mempunyai mesin pemanas berkapasitas 5 kuintal. Lama pemanasan sampah basah mencapai 4 jam. Setelah kering, barulah Ujang mengolahnya menjadi briket. Dengan begitu Ujang tak memerlukan lahan luas untuk penjemuran sampah. Luas lahan untuk produksi briket hanya 700 m2. Karena berasal dari tumbuhan, briket itu sohor sebagai biobriket.
Manfaatnya sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah atau batubara. Para konsumennya adalah ibu rumahtangga dan berbagai industri. Setiap bulan Ujang memproduksi 10-15 ton biobriket. Di luar itu masih ada permintaan yang belum terlayani. Contohnya sebuah perusahaan di Jakarta meminta pasokan rutin 5 ton per bulan. Permintaan yang bersifat insidental alias tak rutin, tak kalah banyaknya.
Pada pertengahan Agustus 2008, misalnya, ada permintaan 3 ton dan 1 ton masing-masing dari Purwakarta, Jawa Barat, dan Cilacap, Jawa Tengah. Dengan harga jual Rp2.000 per kg, omzet pria 40 tahun itu mencapai Rp20-juta-Rp30-juta per bulan, di luar permintaan insidental. Menurut alumnus STM Dr Soetomo Cilacap itu biaya produksi biobriket Rp1.000-Rp1.300 per kg. Artinya laba bersihnya minimal Rp5-juta-Rp15-juta sebulan.
Atasi masalah
Di Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ada Edi Gunarto. Pekerjaan utama pria 35 tahun itu sejatinya berdagang kelontong dan mengelola penggilingan kacang tanah. Setiap musim panen-berlangsung 4 bulan-7 ton kulit kacang menggunung di halaman rumahnya. Kulit Arachis hipogaea memang dibeli produsen tahu sebagai bahan bakar, tetapi sangat murah: cuma Rp50 per kg.
Sejak Oktober 2007 Edi mengolah kulit kacang itu menjadi biobriket berbentuk mirip tahu. Panjang dan lebar briket masing-masing 5 cm. Untuk membuat 1 kg briket, Edi memerlukan 2 kg sampah kering seperti kulit kacang, dedaunan, dan serbuk gergaji.
Menurut pria kelahiran 10 Maret 1973 itu biaya produksi hanya Rp1.700 per kg. Edi menjual sekilo briket Rp2.500. Produksi Edi 1.200 kg biobriket per bulan yang terserap para tetangga, industri batik, dan rumah makan.
Peminat biobriket kian besar. Permintaan rutin biobriket ke Edi Gunarto mencapai 5 ton per pekan atau 20 ton sebulan. Ia gagal memenuhi tingginya permintaan lantaran, 'Keterbatasan modal,' katanya. Biobriket itu memang praktis dan ekonomis. 'Kompor' untuk biobriket berupa anglo alias perapian terbuat dari keramik. Bedanya posisi cekungan sebagai wadah biobriket lebih dalam, 10 cm; anglo berbahan bakar arang, 5 cm dari permukaan atas. Untuk menyalakan biobriket cukup dengan menyulutnya. Begitu juga bila hendak mematikannya: menutup tabung 'kompor.' Sekilo briket mampu menyala 2 jam nonstop.
Itu setara dengan durasi minyak tanah. Bedanya, harga beli biobriket lebih murah ketimbang minyak tanah yang saat ini rata-rata Rp5.000 per liter. Menurut Purwanti, pengguna biobriket di Sidomulyo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, kelebihan lain biobriket adalah nyala api biru tak menimbulkan jelaga dan asap. Keistimewaan itu mempermudah pekerjaan ibu-ibu rumahtangga lantaran kian cepat mencuci alat memasak.
Jangankan diolah menjadi biobriket, tanpa diolah pun sampah bermanfaat sebagai bahan bakar. Itu dibuktikan oleh Dr Muhammad Nurhuda, dosen Jurusan Fisika Universitas Brawijaya. Doktor Fisika alumnus Universitas Bielefeld, Jerman, itu membuat kompor biomassa. Prinsip kerjanya mirip tungku. Bedanya, kompor tak menghasilkan asap, hanya nyala api karena Nurhuda memerangkap asap.
'Pembakaran sampah menghasilkan asap. Asap yang mengandung gas seperti hidrogen, karbon monoksida, dan metan yang dapat terbakar dimanfaatkan untuk menghasilkan energi,' kata pria kelahiran Mojokerto 10 September 1964 itu. Dengan begitu kompor biomassa itu tanpa asap. Kompor setinggi 55 cm itu berbahan bakar daun kering, ranting, atau sampah kering lain. Dari 0,6 kg sampah, kompor menyala 40 menit.
Upaya Ujang Solikhin, Edi Gunarto, dan Muhammad Nurhuda mengolah sampah menjadi bahan bakar sebenarnya juga mengatasi persoalan klasik kota besar. Harap mafhum selama ini sampah menjadi masalah di berbagai kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Jakarta, umpamanya, setiap hari 'menghasilkan' 6.925 ton sampah. Jika diangkut truk bermuatan 4 ton sekaligus, Jakarta memerlukan 1.731 truk.
Nyamplung
Selain jelantah dan sampah organik, limbah lain yang kini diolah menjadi bioenergi adalah nyamplung Calophyllum inophyllum. Selama ini nyamplung praktis tak termanfaatkan. Buah masak, jatuh, lalu mengering atau tersapu ombak samudera. Anggota famili Cluciaceae itu banyak tumbuh di tepian pantai. Jika masyarakat memanfaatkan bintangur alias nyamplung pun, sangat terbatas, Cuma sebagai campuran rujak.
'Di sini penduduk menggunakan purancak untuk rujak. Kulitnya masam,' ujar Komaruddin, warga Tamanjaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten. Purancak nama lokal nyamplung di desa berjarak tempuh 3 jam dari Taman Nasional Ujung Kulon itu. Di Tamanjaya dan Ujung Kulon puluhan pohon asal Afrika Timur itu menjulang dan rindang setinggi pohon kelapa.
Ketika Trubus ke sana pada 25 Juni 2008, pohon kerabat manggis itu tengah berbuah lebat. Di bawah tajuk berserakan buah kering tanpa kulit. Tempurung yang keras melindungi buah sehingga awet bertahun-tahun. Ketika tempurung dipecahkan, tampak daging buah kekuningan yang masih bagus. Daging buah itulah yang potensial sebagai bahan baku biokerosin alias minyak tanah nabati seperti dilakukan oleh Samino.
Teknisi PLN Cabang Cilacap itu sejak Februari 2008 mengolah nyamplung menjadi biokerosin. Teknologi pengolahan ia peroleh dari Pudji Oentoro, periset Badan Tenaga Nuklir Jakarta. Samino mengumpulkan buah seukuran lengkeng pingpong itu di tepian pantai Kroya dan Adipala-keduanya di Kabupaten Cilacap dan pantai Ambal, Kabupaten Kebumen. Pria kelahiran 10 September 1951 itu memproduksi 50 kg minyak nyamplung per bulan. Produksinya baru dimanfaatkan terbatas oleh ibu-ibu rumahtangga dan peneliti.
Ia yakin nyamplung berprospek cerah sehingga Samino mempersiapkan mesin berkapasitas 400 kg sekali proses selama 1,5 jam. Menurut pria 57 tahun itu untuk menghasilkan 1 kg minyak, perlu 2 kg nyamplung berbiaya produksi Rp3.000 per kg. Dengan harga jual Rp4.500, laba bersihnya Rp1.500 per kg. Biokerosin nyamplung sebagai substitusi minyak tanah. Namun, melalui proses transesterifi kasi, minyak itu menjadi biodiesel.
Menurut Prof Dr Sudradjat, pakar bioenergi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, potensi nyamplung sebagai bahan bakar nabati sejatinya diteliti sejak 2006. 'Departemen Kehutanan mempelopori penelitian karena nyamplung sebagian besar tumbuh di kawasan kami (hutan dan pantai, red),' ujar doktor Bioteknologi alumnus State University of Gent Belgia. Apalagi tanaman itu tersebar luas hampir di seluruh kawasan pantai di tanahair.
Karena berpotensi besar, nyamplung yang berbuah pada umur 5 tahun mulai dibudidayakan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cilacap membudidayakan 148.225 pohon di lahan 135 ha. Perum Perhutani KPH Banyumas Barat juga mengebunkan bintangur di lahan 1.000 ha di Gunung Selok, Cilacap. Dengan begitu, ketergantungan petani dan nelayan terhadap minyak tanah serta solar dapat ditekan.
BBN gantikan BBM?
Jelantah, sampah, dan nyamplung terbukti berpotensi sebagai bahan baku bioenergi. Ketika minyak tanah, solar, dan premium langka sehingga harga melambung, konsumen dapat memanfaatkan bioenergi sampah. Namun, pengembangan bioenergi itu banyak hambatan. Untuk memecah tempurung nyamplung, contohnya, Samino mengandalkan tenaga manusia. Tempurung buah yang keras itu dipecahkan dengan palu sehingga hasilnya tak maksimal.
Dalam proses pembakaran, menghasilkan arang relatif sulit. Kerap kali yang dihasilkan justru abu. Bila demikian, abu tak dapat diolah menjadi biobriket. Begitulah yang dialami Edi Gunarto ketika pertama kali mengolah sampah menjadi biobriket. Produsen biodiesel jelantah juga menemukan batu sandungan dalam pengadaan bahan baku.
Di balik sejumlah kendala itu, terbuka peluang pasar bioenergi sampah yang sangat besar. Itu karena cadangan minyak bumi yang kian menipis. Di tengah melonjaknya kebutuhan bahan bakar, para ahli memperkirakan cadangan minyak bumi kita hanya cukup untuk 10 tahun mendatang. Celakanya, saat bersamaan konsumsi bahan bakar meningkat.
Mari lihat data Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB). Konsumsi solar Indonesia pada 1995 baru 15,84-miliar liter-6,91-miliar liter di antaranya untuk transportasi. Konsumsi solar meningkat menjadi 27,05-miliar liter (13,12 miliar liter untuk transportasi) pada 2000. Menurut Dr Ir Imam K Reksowardojo dari LPPM sekaligus dosen Teknik Mesin ITB, pada 2010 Indonesia memerlukan 34,71-miliar liter solar.
Kebutuhan terhadap premium dan minyak tanah juga cenderung meningkat. Itulah sebabnya menurut Imam, perlu kebijakan radikal untuk memutus ketergantungan terhadap BBM. Tujuannya agar hajat hidup orang banyak terhadap energi tidak diacak-acak oleh mekanisme pasar. Menurut Tatang Hernas Soerawidjaja, periset biodiesel, dari sekian banyak energi alternatif, yang paling potensial dikembangkan adalah biomassa lantaran mudah dibuat menjadi bahan bakar.
Dari pisang
Volume biomassa 600 kali lebih kecil dibanding gas. Akibatnya kepadatan energi lebih besar, mudah dibawa, dan relatif sulit terbakar ketimbang gas. Satu hal lagi, Indonesia negeri megabiodiversitas yang kaya keanekaragaman hayati. Beragam bahan baku biodiesel dan biopremium tersedia. Bahkan, pisang batu pun berpotensi sebagai bahan baku seperti dibuktikan oleh Ir Sidik Omar.
Omar, pengusaha pengecatan suku cadang kendaraan bermotor. Pada Juni 2008 ia sulit memperoleh minyak tanah. Di Depok, Jawa Barat, tempat tinggalnya, harga minyak tanah mencapai Rp5.000 per liter. Alumnus Universitas Jenderal Ahmad Yani itu memerlukan minyak tanah untuk membersihkan suku cadang sebelum pengecatan. Keperluannya hanya 20 liter sehari.
Nah, ketika minyak langka itulah ia membuat bioetanol berbahan baku pisang batu. Ide itu muncul lantaran ia terbiasa membikin wine pisang. Maka jadilah ia membuat bioetanol pisang batu berkadar 30-40%. Produksinya memang masih kecil, 2,4 liter per hari dari 1 kg pisang.
Selama ini pisang batu muda paling banter hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku rujak. Pekebun menanam pisang batu lebih memilih untuk memetik daun ketimbang buah. Menurut Omar biaya produksi bioetanol pisang mencapai Rp3.700 per kg. Yang menggembirakan baginya, suku cadang yang dibersihkan dengan bioetanol pisang lebih bagus hasilnya.
'Cat melekat lebih kuat dan warna lebih cerah,' kata ayah 3 anak itu. Pantas bila enam pengusaha suku cadang minta pasokan bioetanol pisang secara rutin. PT Multicamp dan PT Sanwa masing-masing meminta pasokan 500-600 liter per pekan. Tentu saja pria kelahiran 9 September 1955 itu bungah. Oleh karena itu ia tengah membangun pabrik bioetanol. Pada Oktober 2008, pabrik berkapasitas 600 liter berhari beroperasi.
Kreativitas acap muncul justru ketika tekanan begitu berat. Itulah yang terjadi kini. Saat minyak bumi langka sehingga harga kian terkerek, para produsen bahan bakar nabati mengolah beragam limbah: jelantah, sampah, nyamplung, dan pisang batu sebagai sumber energi. Bahan baku tersedia, ramah lingkungan, kinerja mesin membaik, dan yang penting pasar pun terbuka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar